Sejarah

Peta Dalam Sejarah dan Sejarah Dalam Peta*


Peta yang pertama ditemukan oleh masyarakat babilonia terbuat dari lempengan tanah yang dikeraskan yang menggambarkan pemukiman dan irigasi
Sesuatu yang cukup menarik di Indonesia akhir-akhir ini adalah mulai seringnya ditampilkan peta dalam media massa dan mulai diproduksinya peta dalam jumlah yang cukup banyak. Hampir setiap hari, dalam sejumlah media cetak (surat kabar dan majalah), baik yang diterbitkan di ibu kota atau di daerah, selalu ditemukan peta sebagai “pelengkap” pemberitaan. Hal yang sama, walaupun tidak seintensif  surat kabar dan majalah, juga ditemukan pada media elektronik (televisi). Tampilan dan kualitas peta yang disajikan rata-rata bermutu tinggi. Media massa berlomba-lomba menampilkan beragam bentuk dan format serta disain peta. Sebagian besar surat kabar, majalah dan televisi menghadirkan peta yang disiapkan perancang atau disainer media tersebut, namun banyak pula yang menampilkan peta yang dituntung dari internet. Peta juga diproduksi dalam jumlah yang banyak akhir-akhir ini. Di samping peta tunggal, juga diproduksi atlas. Kualitas peta dan atlas yang dihasilkan sangat beragam, namun umumnya bermutu baik. Peta dan atlas juga semakin mudah didapatkan karena diperjualbelikan di berbagai toko buku. Harganya juga beragam, tergantung pada  kualitasnya. Peta juga ditempatkan di banyak ruang publik, seperti di pasar, di pusat kota, di kawasan wisata, dan di kawasan rawan bencana (peta jalur evakuasi). Tidak itu saja, peta bahkan dibuat pada dinding luar sekolah (dasar), atau - mengikuti tren berbatik akhir-akhir ini - peta juga dibuat dengan motif batik dan dijadikan sebagai hiasan dinding rumah/kantor.

Penyertaan peta pada berbagai media massa diharapkan membantu pembaca dan pemirsa untuk lebih mudah memahami berita yang disajikan. Di samping itu, produksi  dan  penyebarluasan  peta  dalam  jumlah  yang  masif  diharapkan  mampu menjadikan  masyarakat “sadar peta”,  mampu  meningkatkan  pengetahuan  warga bangsa, baik pengetahuan pada negeri secara umum atau pengetahuan sesuai dengan bidang ilmu yang mereka dalami (bagi kalangan terpelajar) secara khusus.
Harapan yang kedua di atas memang layak untuk diungkapkan. Sebab, berdasarkan penelitian (yang dilakukan beberapa kali), dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dewasa ini banyak anak bangsa yang masih belum atau kurang “sadar peta”, peta masih merupakan sesuatu yang “asing” pada sebagian besar masyarakat Indonesia, dan menariknya, gejala ini tidak terkecuali bagi kalangan terpelajarnya. Dari beberapa kali penelitian diketahui bahwa kebanyakan masyarakat awam hanya mengenal peta sebagai gambar yang digantungkan di dinding-dinding kelas sekolah (tanpa mengenai makna dan fungsinya). Kalangan terpelajar, meskipun telah mengetahui peta sebagai  penggambaran muka bumi atau bagian dari ilmu bumi (geografi), namun banyak di antara mereka yang tidak memiliki peta, tidak pernah menggunakan peta, serta tidak memahami makna/simbol yang ada pada peta. Tidak itu saja, sukar rasanya untuk dipercaya, bahwa sejumlah mahasiswa S-2 Sejarah pada sebuah perguruan tinggi negeri (sebagian besar di antara mereka berstatus sebagai guru sejarah pada jenjang pendidikan SLTP, SLTA, dan ada di antaranya dosen sejarah) tidak mampu membuat peta Asia Tenggara dengan baik. Hal yang sama juga dialami oleh sejumlah mahasiswa S-1 Sejarah pada sebuah perguruan tinggi. Mereka tidak mampu “membaca” peta buta Indonesia.
Kesimpulan di atas memang didasarkan pada penelitian yang dilakukan di daerah dan pada lingkungan yang terbatas. Namun, dengan segala kekurangan yang dimiliki oleh penelitian tersebut, fenomena ini kiranya bisa dijadikan sebagai dasar untuk mengatakan bahwa kondisi yang relatif sama sesungguhnya ditemukan pada sebagian besar warga bangsa, baik masyarakat awam atau kaum terpelajar (terutama sejarawan murni atau pendidikan) di hampir seluruh penjuru persada ini.
Berdasarkan fenomena di atas, bangkitnya gairah “berpeta-ria” akhir-akhir ini perlu dihargai dan didukung. Sejarawan berkewajiban untuk ikut-serta dalam “gerakan” ini. Sebagai sosok yang bergelut dalam ilmu yang mempelajari kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam ruang (dan waktu) sejarawan memang harus akrab dan memahami serta menguasai peta. Kurang lengkap kesejarawan seorang sejarawan bila dunia peta belum mereka kuasai. Setidaknya, mereka (sejarawan) harus mengetahui arti atau makna peta bagi sejarah, baik sejarah sebagaimana dilukiskan/dideskripsikan atau sejarah sebagai peristiwa atau kejadian itu sendiri. Tanggung jawab yang sama, bahkan dengan kadar yang lebih besar, juga diemban oleh ahli ilmu bumi. Bukankah salah satu keahlian yang harus dimiliki mereka yang mendalami ilmu bumi adalah dunia peta ini?
Makalah ini mencoba mendiskusikan peta dan hubungannya dengan sejarah, baik sejarah sebagaimana dikisahkan dan sejarah sebagai peristiwa/kejadian.


Zaman kejayaan Islam Arab di tengah peta “dunia”
Peta Sebagai Sebuah “Penulisan Sejarah”
Ada banyak pengertian atau defenisi peta yang lazim dikemukakan. Beberapa di antaranya menyebut bahwa peta adalah penggambaran atau penglukisan konvensional muka bumi yang menunjukkan letak tanah, sungai, gunung, laut, selat, teluk, tanjung, dan lain sebagainya; atau suatu representasi melalui gambar dari suatu daerah yang menyatakan sifat, seperti batas daerah, sifat permukaan, peruntukan lahan; atau suatu gambaran dan lukisan yang menyatakan letak sesuatu; atau denah sesuatu di muka bumi. Di samping itu, lazim dan bahkan menjadi bagian yang tidak boleh diabaikan, peta harus memiliki skala tertentu dan simbol-simbol tertentu. Peta berfungsi sebagai alat analisis, alat komunikasi, catatan visual permanen alat peraga dan media pembelajaran.
Perkembangan, pertumbuhan, penggunaan, pemakaian, dan penghargaan terhadap peta paralel dengan tingkat kebudayaan masyarakat pendukungnya. Masyarakat dengan tingkat kebudayaan yang bersahaja memiliki peta yang sederhana. Sebaliknya masyarakat dengan tingkat kebudayaan yang maju memiliki peta yang kompleks. Hal sama juga berlaku pada penggunaan, pemakaian dan penghargaan terhadap peta. Tingkat penggunaan, pemakaian dan penghargaan terhadap peta pada masyarakat dengan kebudayaan yang maju jauh lebih sering, sungguh-sungguh dan tinggi bila dibandingkan dengan masyarakat dengan kebudayaan yang lebih bersahaja.
Peta adalah produk kebudayaan. Sebagai produk kebudayaan, peta adalah sesuatu yang dinamis. Senantiasa ada perubahan terhadap bentuk, format dan  kualitas peta. Teknologi dan hasil pembuatannya terkait erat dengan perkembangan unsur teknologi dan ilmu pengetahuan yang ada dalam unsur-unsur kebudayaan masyarakat pembuatnya. Semakin tinggi kebudayaan (khususnya unsur teknologi dan ilmu pengetahuan) masyarakat pembuatnya semakin canggih teknologi pembuatan peta, semakin detil lukisan yang disajikan, serta semakin beragam wujud, bentuk dan corak peta yang diproduksi.
Masyarakat Babilonia (2300 SM), yang dianggap sebagai penemu pertama peta, dengan teknologinya yang relatif “sederhana”, “hanya” mampu membuat peta yang “sederhana” pula. Masyarakat yang tinggal di kawasan Eufrat dan Tigris ini “hanya” mampu membuat peta dengan jalan menoreh/mengukir lempengan tanah yang dikeraskan. Rupa bumi yang dideskripsikan juga terbatas, hanya meliputi suatu bagian kecil kota atau wilayah, yang hanya mencakup sebagian wilayah pemukiman serta irigasi yang mereka miliki. Relatif terbatasnya rupa bumi yang mereka tampilkan, karena itulah “dunia” yang mereka kenal, dan sesungguhnya itulah “dunia” yang penting bagi mereka.
Yunani dan Romawi yang memiliki kebudayaan maju dan mengagumkan, yang banyak membuat bangunan besar dari batu atau marmar juga membuat peta dengan menggunakan bahan batu atau marmar. Sama dengan yang dilakukan pembuat peta Babilonia, peta Yunani dan Romawi ini juga ditorehkan/dipahatkan pada batu atau marmar. Di samping itu mereka juga melukis batu atau marmar tersebut. Salah satu peta buatan zaman klasik ini dikenal dengan sebutan marbel map atau puzzle map. Teknologi pembuatan peta pada batu dan marmar pasti jauh lebih rumit bila dibandingkan dengan pembuatan peta pada tanah yang dikeringkan. Majunya teknologi pembuatan peta era Yunani dan Romawi juga terlihat dari ukuran peta yang dibuat. Informasi yang disajikan juga lebih lengkap. Dari satu marble map yang ditemukan, diketahui bahwa peta tersebut menggambarkan dengan cukup detil wajah kota Roma, seperti berbagai bangunan, jalan dan tangga yang ada di seantero kota tersebut pada abad ke-2 SM. Ukuran peta yang dibuat pada masa Yunani dan Romawi ini jauh lebih besar. Di samping teknologi yang telah maju, ilmu pengetahuan masa itu juga telah berkembang dengan pesat. Pengetahuan, dalam artian ilmu bumi telah tumbuh dan berkembang, bahkan ahlinya telah menghasilkan karya yang luar biasa. Salah satu di antaranya adalah Claudius Ptolomeus. Ilmuwan ini, tidak hanya sekedar ahli ilmu bumi, tetapi juga pembuat peta (kartografer) yang unggul. Dia termasuk salah seorang ilmuwan perintis atau peletak dasar pembuatan peta moderen. Dia berhasil membuat deskripsi atau gambaran atau ‘peta’ mengenai dunia. Namun “peta asli” sebagai buah tangan yang sesungguhnya dari ilmuwan yang hidup pada abad ke-2 M ini tidak pernah ditemukan. ‘Peta’ dunia itu dideskripsikan Ptolomeus dalam bukunya yang berjudul Geographia (ca. 150 SM). Dan peta yang dirancang Ptolomeus ini diwujudkan menjadi “peta yang sesungguhnya” pada abad ke-15 M.
Rupa bumi yang ditampilkan dalam peta Yunani/Romawi juga memperlihatkan “dunia” yang mereka kenal waktu itu. Di samping mendeskripsikan kota, “negara” atau “kerajaan” mereka sendiri, peta yang dihasilkan pada zaman tersebut juga telah menampilkan rupa bumi di kawasan yang jauh dari negeri mereka. Bahkan bila dicermati “peta dunia” karya Ptolomeus dapat dikatakan bahwa peta tersebut telah menampilkan sebagian dunia yang kita kenal dewasa ini (sampai ke India dan China serta Afrika). Hal ini bisa dimengerti, bahwa ilmu dan pengetahuan orang saat itu sudah jauh melampaui batas-batas teritorialnya. Persintuhan dan kontak mereka dengan orang luar telah demikian intensif saat itu.
Pada kurun waktu abad ke-6 hingga 14/15 M), atau pada masa Abad Pertengahan (dalam sejarah Eropa) dan pada era gilang gemilang (dalam peradaban dan kebudayaan Islam), teknologi pembuatan peta semakin maju. Kertas telah dipergunakan dan “coretan” atau “lukisan” pada kertas telah dilakukan. Di samping peta sebagai gambaran rupa bumi yang “sesungguhnya” juga dikembangkan peta model “denah”. Mutu peta sudah meningkat dengan sangat signifikan. Rupa bumi yang disajikan juga sudah demikian luas, “dunia” yang ditampilkan sudah meliputi sebagian besar dunia yang dikenal sekarang. Perkembangan yang sama tetap berlanjut pada periode-periode berikutnya, terutama sekali pada era moderen yang ditandai dengan penemuan berbagai alat pembuat peta serta mesin cetak. Wajah dunia yang ditampilkan pada era moderen ini, yang diawali dengan penemuan “dunia baru”, juga semakin luas dan utuh. Bagian bumi yang pada masa sebelumnya tidak pernah nampak dalam berbagai peta, seperti kawasan Amerika dan Australia mulai ditampilkan. Dan seiring dengan semakin tingginya kontak serta hubungan dengan dunia baru tersebut maka dunia yang sesungguhnya hadirlah sudah dalam peta.  Perkembangan ini tetap berlanjut hingga saat sekarang, sesuai dengan yang kita lihat bersama.
Pada era Eropa/Amerika, Eropa/Amerika di pusat dunia
Sebagai produk kebudayaan, peta sebagaimana dia dilukiskan dan dideskripsikan tidak hanya menampilkan unsur ilmu, pengetahuan dan teknologi masyarakat pendukungnya, tetapi juga jiwa zaman dan latar belakang budaya serta politik yang berkembang pada saat peta tersebut dibuat. Setiap zaman melahirkan peta yang sesuai dengan “suasana batin” zaman yang bersangkutan. Setiap zaman juga melahiran peta yang sesuai dengan latar belakang budaya dan politik zaman tersebut.
“Regionalisme”, dalam artian daerah di mana peta dibuat adalah daerah yang paling hebat dan penting, merupakan salah satu ciri utama hadirnya semangat zaman dan adanya pengaruh budaya/politik dalam pembuatan sebuah peta. Ciri “regionalisme” ini diwujudkan dengan menempatkan daerah di mana peta itu dibuat pada posisi sentral peta. Peta yang dibuat pada Abad Pertengahan, suatu zaman sangat kental dengan aroma keagamaan (Kristen) telah melahirkan peta yang menempatkan pusat kelahiran agama itu pada posisi terpenting (pusat) peta dunia. Hal ini terlihat dengan sangat jelas pada peta T-O, seperti yang dirancang ilmuwan Isidores dari Sevilla pada abad ke-7 M. Dalam deskripsinya ini, sang ilmuwan menempatkan Jerusalem pada titik tengah peta, dan sebagaimana diketahui Jerusalem adalah kota terpenting dalam agama Kristen. Hal yang sama sebetulnya juga hadir pada peta yang dibuat oleh kartografer Islam, Al Idrisi misalnya. Dia menempatkan Arab pada titik tengah dari peta dunianya. Jiwa zaman yang menempatkan daerah pembuat peta pada posisi sentral tetap berlanjut pada masa-masa berikutnya. Pada “era awal Eropa”, orang Eropa menempatkan Eropa pada titik tengah peta dunia dan kecenderungan itu tetap berlanjut hingga saat sekarang. Di Amerika, kartografernya juga menempatkan benua tersebut pada posisi tengah peta dunia. Orang Asia, terutama China juga melakukan hal yang sama. Pada abad ke-18 dan 19 peta yang dibuat di negeri tersebut telah menempatkan China (Asia) pada posisi tengah peta dunia. Peta dunia yang semula dikembangkan di China inilah yang kemudian menjadi patokan (dasar) bagi peta-peta yang dibuat di kawasan Asia (terutama di kawasan Asia Timur dan Tenggara serta Selatan) dalam membuat peta dunia di negeri/negara mereka hingga saat sekarang. Karena itu, pada peta dunia yang lazim ditemukan di Indonesia atau kawasan sekitarnya senantiasa menempatkan Asia pada posisi tengahnya.

Mercator-Hondius 1606
Peta dan Sejarah Indonesia

Sebagai bagian dari sejarah peta dunia, Nusantara atau kepulauan Indonesia sesungguhnya telah hadir sejak pertama kali peta dunia dibuat. Pulau-pulau di Nusantara telah hadir dalam peta Ptolomeus dan Al-Idrisi. Namun, seperti yang disebut pada bagian terdahulu, karena peta dunia di atas menempatkan Eropa dan Tanah Arab sebagai titik pusatnya, maka gambaran pulau-pulau di Nusantara hanya terletak di bagian pinggir peta saja. Posisi seperti itu nyaris membuat kawasan “pinggiran” ini luput dari perhatian.
Bagaimana dengan dunia peta orang Indonesia sendiri? Apakah anak negeri ini juga telah mengenal atau membuat peta sendiri? Apakah peta yang dimilikinya hanya sebagi hasil dari kontak yang dilakukannya dengan orang asing (Eropa atau Arab) yang sebelumnya telah mengenal dan membuat peta? Dengan kata lain anak negeri ini tidak mengenal peta sebelum berhubungan dengan orang Eropa? Pendapat umum yang berkembang di tengah masyarakat (baik awam atau akademis) memang cenderung mengatakan bahwa orang Indonesia tidak mengenal peta sebelum mereka berhubungan dengan orang Eropa. Memang ada underestimasi banyak kalangan yang mengatakan bahwa anak negeri ini tidak punya dan tidak mengenal peta sebelum meeka berhubungan dengan orang Barat. Namun, bila dikaitkan dengan aktivitas bahari orang Indonesia, maka anggapan ini rasanya tidak bisa diterima.
Dari bukti-bukti sejarah diketahui bahwa sejak masa prasejarah atau milenium pertama orang-orang dari kepulauan Nusantara sudah mengarungi lautan luas hingga ke pantai timur Benua Afrika. Aktivitas bahari orang-orang dari Kepulauan Nusantara di kawasan timur Afrika tetap berlanjut pada masa “moderen awal”. Tahun 1154 misalnya Al-Idrisi menyebut bahwa penduduk Zendt di Afrika Timur telah berdagang dengan saudagar dari Zabag (Sumatera atau Jawa). Tahun 1509 Lopo Sequira, pelaut Portugis menjumpai sebuah kapal dari Jawa di Pulau Madagaskar. Tahun 1601 pelaut Belanda menemukan pelaut/saudagar Aceh di Pulau Comoro. Mencermati luasnya laut dan jauhnya jarak yang mereka lalui/tempuh rasanya sukar diterima, bahwa para pelaut/saudagar tersebut mengarungi laut luas tanpa menggunakan peta. Mustahil rasanya bila hanya mengandalkan kemampuan mereka membaca tanda-tanda alam, seperti sebaran bintang di langit, arus laut, atau gelagat binatang (burung) semata.
Keraguan ini kiranya bisa dijawab dengan temuan Niermeyer dan Krom yang menyebut bahwa perjalanan Hayam Wuruk ke ujung timur Jawa dipetakan dengan sangat bagus oleh juru peta Majapahit. Merujuk kepada temuan tersebut, kedua ilmuwan Belanda ini menyimpulkan bahwa peta sesungguhnya bukanlah sesuatu yang asing bagi orang Indenesia. Kesimpulan ini sangat berdasar. Sebab jauh sebelum mereka menarik kesimpulan di atas, tepatnya pada hari-hari pertama orang Eropa hadir di perairan Nusantara, Ludovico de Varthema dan Fransisco Rodriguez telah menyaksikan dengan mata kepala mereka sendiri, nakhoda pribumi Nusantara menggunakan peta dalam pelayarannya. Ludovico de Varthema menyaksikan nakhoda pribumi (Jawa) menggunakan peta dalam pelayaran dari Pulau Kalimantan ke Pulau Jawa (1505). Fransisco Rodriguez juga melihat peta digunakan oleh nakhoda Jawa dan dia kemudian menjadikan peta yang digunakan nakhoda pribumi tersebut sebagai dasar “peta dunia” yang dibuat serta diserahkannya kepada Alfonso de Albuquerque (1512). Bila kedua orang ini menyaksikan bahwa pelaut (nakhoda) Indonesia telah terampil menggunakan peta pada hari-hari pertama kedatangan mereka (orang Barat) ke Nusantara, dapat dikatakan bahwa peta telah dimiliki dan dipergunakan orang Indonesia pada periode sebelum kedatangan orang Eropa ke kawasan ini.
Peta yang sudah ada Indonesianya Abad ke 17
Sayangnya peta “lokal” milik anak negeri tidak berkembang. Keberadaannya segera digantikan oleh peta-peta yang dibuat oleh orang Eropa. Harus diakui, sejak berhubungan dengan orang Eropa, sejarah peta di Indonesia tidak bisa dipisahkan dengan bangsa Barat. Merekalah yang kemudian memperkenalkan peta (moderen) yang lebih lengkap ke negeri ini. Apalagi, setelah kehadiran bangsa Eropa - secara lambat namun pasti - aktivitas bahari orang Indonesia khususnya dan kebudayaan serta peradaban “asli” anak negeri di Nusantara ini umumnya mulai terpinggirkan. Sejak dominasi orang Eropa di dunia bahari Nusantara, para pelaut Indonesia tidak lagi leluasa mengarungi lautan luas, pelayaran mereka menjadi terbatas pada pelayaran lokal (antar-pulau atau antar-kota pantai dalam buah pulau) saja. Perlu dicatat, bahwa peta yang dimiliki oleh anak negeri ini sebelum atau pada hari-hari pertama kedatangan orang Eropa lebih terbatas pada peta laut. Hal ini memang bisa dipahami karena dunianya orang Nusantara waktu itu adalah laut, sehingga wajar saja peta laut yang mereka buat dan kembangkan. 
Orang Portugis, kemudian Spanyol, disusul oleh Belanda dan Inggris serta Perancis yang hadir di Nusantara memang “gila” peta. Hampir pada setiap armada/ekspedisi mereka yang datang ke kawasan ini, terutama sekali pada hari-hari pertama kehadiran mereka, senantiasa disertai oleh seorang kartografer. Dalam perkembangan selanjutnya, pembuat peta ini tidak saja ditemui dalam setiap armada/ekspedisi langsung dari negeri induk ke Nusantara, tetapi juga pada hampir setiap kapal yang melakukan pergerakan di perairan kawasan ini. Di samping peta (yang sesungguhnya) yang dibuat kartografer pada setiap armada/ekspedisi atau kapal, “peta” (deskripsi) juga dibuat oleh para pengelana Eropa yang mengunjungi negeri ini. Para pengelana ini memberikan deskripsi geografis atau rupa bumi serta keadaan penduduk yang sangat detil dalam catatan perjalanan (travelogues) mereka. Catatan perjalanan pernah menjadi “mode” dan sangat digandrungi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Sebagai contoh “gilanya” orang Barat dalam pembuatan peta bisa dilihat dari apa yang dilakukan bangsa Portugis dan Belanda. Armada Portugis yang melakukan pelayaran pertama dan kedua serta ketiga mereka mengelilingi Pulau Sumatera (dari Malaka) pada dekade kedua dan ketiga abad ke-16) selalu disertai oleh seorang kartografer.  Karena itu, peta laut sekitar atau sekeliling Pulau Sumatera telah dibuat sejak dekade kedua abad ke-16 dan itu dilakukan oleh orang Portugis. Armada pertama Belanda yang sampai di perairan Nusantara dan dipimpin oleh Cornelis de Houtman juga menginformasikan bahwa armada itu juga disertai oleh seorang kartografer. Sebagaimana disebut oleh van Leur, baru saja armada tersebut lego jangkar di pelabuhan Banten, dengan dibantu oleh sejumlah anak kapal yang mengukur kedalaman kolam pelabuhan, jarak antara berbagai bangunan yang ada di dalam dan sekitar pelabuhan, dan mengumpulkan berbagai informasi lain mengenai kawasan sekitar pelabuhan dan bandar raya Banten, kartografernya sibuk membuat peta pelabuhan Banten dan wilayah sekitar kota niaga tersebut. Sedangkan para pengelana yang memberikan deskripsi begitu lengkap mengenai kawasan laut dan pantai negeri ini antara lain Tome Pires (1944) dan John Anderson untuk Sumatera bagian timur (1970).
Peta Indonesia tahun 1890
VOC adalah lembaga atau pemerintah yang pertama dengan serius mengembangkan/membuat peta negeri ini. Kongsi dagang ini memiliki sebuah “divisi” pembuat peta yang populer dengan sebutan “Bazen-kaartenmakers”. Para pembuat peta yang tergabung ke dalam “divisi” inilah yang menyempurnakan peta-peta yang dibuat sebelumnya, baik oleh kartografer Portugis, Spanyol dan tentu saja Belanda. Sesuatu yang menarik dicatat dalam peta yang dibuat VOC (serta kartografer Portugis atau Spanyol) adalah peta-peta tersebut lebih terfokus pada peta laut (zeekaarten).
Pembuatan atau lebih tepatnya penyempurnaan peta dilanjutkan oleh pemeritahan (sementara) Inggris dan tentu saja pemerintah Hindia Belanda. Inggris misalnya mendirikan Kantor Hidrografi, Raffles membuat peta Pulau Jawa, Daendels membentuk departemen pemetaan dalam pemerintahannya, Daendels juga mengintruksikan kepada pejabat bawahannya untuk mengumpulkan sebanyak mungkin bahan guna dijadikan bahan pembuatan peta (dan kalau memungkinkan pejabat yang bersangkutan membuat petanya sekalian). Bila pada masa-masa sebelumnya (hingga zaman VOC) banyak dibuat peta laut, maka sejak periode pemerintahan sementara Inggris mulai banyak dibuat peta “tanah darat”, maksudnya sejak saat itu mulai dibuat peta yang lebih lengkap mengenai keadaan alam (laut dan darat) Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian berkuasa di negeri ini juga melanjutkan kegiatan membuat peta (yang lebih komprehensif). Ekspansi politik dan kampanye militer yang dilakukan di berbagai daerah adalah salah satu kesempatan yang dipergunakan pemerintah Hindia Belanda untuk membuat peta negeri ini. Seiring dengan dilakukannya berbagai kampanye militer, baik di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan pulau-pulau lainnya, terciptalah berbagai peta wilayah. Banyak sekali peta (daerah) yang dibuat melalui cara ini. Proses pembuatan seperti ini umumnya dilakukan sepanjang abad ke-19. Hal ini pulalah yang menyebabkan pada hari-hari pertama keberadaannya (hingga awal abad ke-20), dinas atau jawatan topografi (Topographische Dienst) menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari Departemen Perang (Departement van Oorlog) pada pemerintahan Hindia Belanda.
Di samping itu, pembuatan peta juga dilakukan melalui berbagai ekspedisi dan penelitian. Walaupun demikian, penanggungjawab utama pembuatan peta secara “nasional” berada di tangan Dinas Peta di atas.
“Sentralisasi” pembuatan peta menyebabkan peta yang dibuat sekaligus sebagai representasi pandangan Batavia terhadap negeri ini. Sebagai bagian negeri induk, perspektif Batavia dalam menempatkan Hindia Belanda dalam peta dunia tetap sama dengan pandangan negeri induk. Indonesia tetap ditempatkan pada bagian pinggir peta dunia. Makanya, pada peta dunia masa ini, posisi ini umumnya terletak pada sisi timur yang nyaris tidak mendapat perhatian dari orang yang melihat peta tersebut.
Peta wilayah Hindia Belanda yang dibuat juga menggambarkan perspektif Batavia. Pada peta-peta wilayah (overzichtkaarten) lama, yang dibuat pada abad ke-19, untuk daerah yang telah dikuasai (secara politik) diberi tanda (warna) merah misalnya. Pada waktu berikutnya, ketika kekuasaan politik pemerintah telah mencakup seluruh wilayah Hindia Belanda (seperti yang dikenal dewasa ini), maka wilayah yang telah dikuasai diwarnai sesuai dengan kaidah pembuatan peta moderen. Sedangkan untuk daerah tidak dikuasai atau idak menjadi bagian dari Hindia Belanda tidak diberi warna (hanya diberi warna putih saja). Pola pembuatan peta seperti ini semakin nyata sejak awal abad ke-20 (dekade ke-2), saat mana pemerintah Hindia Belanda telah sungguh-sunggguh menguasai seluruh wilayah ini. Sejak saat itu pemerintah Hindia Belanda telah sungguh-sungguh menampatkan kawasan sekitar yang tidak masuk ke dalam wilayah kekuasaaannya sebagai negeri asing yang tidak (perlu) diwarnai.
Sebagai bagian dari kolonialsme Belanda, maka penamaan, ungkapan, dan kategori yang dipakai dalam peta mengacu kepada apa yang lazim/dipakai oleh kolonialis Belanda. Nama-nama pulau, daerah administratif, kota, laut, teluk, gunung, sungai, dan lain sebagainya mengacu kepada penamaan yang dibuat/digunakan oleh penjajah. Nama-nama yang diberikan terhadap daerah, pulau-pulu, kota-kota, teluk, tanjung, sungai dan lain sebagainya, sebagian besar diambilkan dari nama-nama daerah atau tokoh-tokoh Belanda. Di samping itu tentu saja nama yang sebelumnya telah diberikan penduduk setempat.
Secara umum ada empat jenis peta yang dibuat (dikembangkan) pada masa penjajahan yaitu peta wilayah secara umum, peta pelayaran, peta kawasan pantai, peta perencanaan. Dari empat jenis peta tersebut, peta wilayah pantai merupakan peta yang paling banyak diproduksi. Sebagai perbandingan, pada pertengahan dakade kedua abad ke-20 (1916) diproduksi peta wilayah pantai sebanyak 125 macam, peta perencanaan sebanyak 89 macam, peta pelayaran sebanyak 31 macam, dan peta wilayah sebanyak 19 macam.
Sesuatu yang menarik dalam sejarah peta di Indonesia adalah mulai munculnya peta Indonesia (Hindia Belanda) buatan kartografer Jepang sejak dekade ke-3 abad ke-20. Namun berbeda dengan peta-peta Indonesia yang dibuat sebelumnya, peta Indonesia yang dibuat Jepang ini nampaknya merupakan bagian dari peta “Asia Timur Raya”, dengan kata lain, pada peta Hindia Belanda tersebut juga ditampilkan kawasan lain di Asia Tenggara dan Asia Timur, bahkan sebagian wilayah di Samudera Pasifik (ingat sejak dekade ke-2 abad ke-20 Jepang juga telah mempunyai daerah koloni di Pasifik). Sejak dekade 1920-an, para pembuat peta Jepang ternyata tidak hanya membuat peta wilayah Indonesia secara umum, tetapi juga membuat peta pelayaran, peta laut, dan peta kawasan pantai Indonesia. Kegiatan ini relatif tidak banyak terpublikasi. Namun menurut Parada Harahap, pada tahun 1933 peta pelayaraan, peta laut, dan peta kawasan pantai Indonesia yang dibuat Jepang jauh lebih lengkap bila dibandingkan dengan peta yang sama yang dibuat oleh Belanda.
Sesuai dengan spirit Jepang yang ingin mewujudkan Asia Timur Raya, maka salah satu arti kehadiran Jepang di Indonesia dalam lapangan ilmu bumi (geografi) adalah dalam hal pengubahan posisi Indonesia (dan Asia) dalam peta dunia. Sejak zaman Jepang  mulailah dibuat secara masif peta dunia yang menempatkan Asia pada bagian sentral peta dunia. Sejalan dengan itu peta-peta Indonesia yang disatukan dengan kawasan lain di Asia Tenggara, Asia Timur dan kawasan Pasifik juga semakin banyak dibuat dan diperkenalkan kepada masyarakat luas.
Setelah Indonesia merdeka, khususnya segera setelah pengakuan kedaulatan, pembuatan peta dan penyebarluasan peta menjadi salah satu program utama pemerintah. Di samping peta dunia, peta yang paling banyak diproduksi dan disebarluasan adalah peta Indonesia (dan yang dimaksud dengan peta Indonesia di sini adalah peta wilayah keluruhan Republik Indonesia, peta daerah adminisratif setingkat provinsi, dan kabupaten/kota). “Sosialisasi” peta terutama dilakukan kepada anak didik dengan sasaran utama para pelajar sekolah dasar. Proses ini dilakukan seiring dengan pengajaran ilmu bumi (geografi). Pemerintah RI saat itu memang menjadikan ilmu bumi sebagai mata pelajaran wajib bagi seluruh sekolah dasar. Melalui mata pelajaran ini, pemerintah ingin mengenalkan wilayah Indonesia kepada anak bangsa (dimulai dari siswa sekolah dasar). Realisasi keinginan tersebut diwujudkan dengan memberikan pelajaran ilmu bumi wilayah administratif setingkat kabupaten/kota pada siswa kelas tiga, ilmu bumi wilayah administratif setingkat provinsi bagi siswa kelas empat, ilmu bumi wilayah RI untuk siswa kelas lima dan ilmu bumi dunia untuk siswa kelas enam. Dalam buku teks untuk masing-masing pelajaran tersebut selalu dibuatkan peta daerah yang tengah dipelajari (umumnya peta yang dibuat secara amatiran). Ada banyak buku teks pelajaran geografi untuk masing-masing tingkatan kelas ini yang dibuat pada tahun 1950-an dan 1960-an. Kiranya hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut
Pola pengajaran ilmu bumi dan “pembacaan” peta dilakukan dengan cara bercerita (terutama untuk kelas tiga dan empat). Karena itu buku-buku teks mata pelajaran ilmu bumi untuk kelas tiga dan empat yang terbit tahun 1950-an dan awal 1960-an cenderung bersifat deskriptif-naratif. Untuk mendukung “sosialisasi” pengajaran ilmu bumi dan penyebarluasan peta ini, maka pemerintah juga mengapresiasi penulis yang menerbitkan buku-buku “petualangan” atau buku-buku “perjalanan” yang mencerita wilayah pada tingkat kabupaten provinsi atau keseluruhan republik.
Sejarah, sebagai ilmu yang tidak bisa dipisahkan dengan ruang juga menjadi pelajaran wajib pada era pasca-pengakuan kedaulatan. Sejarah menjadi mata pelajaran dan bidang ilmu yang favorit dan penting saat itu. Buku-buku sejarah banyak ditulis dan dipublikasikan. Sejarawan pun “naik daun”. Sama dengan ilmu bumi, sejarah dijadikan sebagai sarana untuk lebih menumbuhkan rasa cinta anak negeri kepada bangsa dan negara ini. Sama juga dengan ilmu bumi, terjadi pula apa yang dinamakan dengan “dekolonisasi” dalam penulisan sejarah, yakni pengingkaran unsur-unsur kolonial dalam penulisan sejarah Indonesia dan menggantinya dengan pandangan yang bersifat indonesia-sentris. Dalam penulisan sejarah “terbaru” ini orang Indonesia telah menjadi aktor utama sejarah negerinya, orang Indonesia telah menjadi titik sentral sejarah negerinya, bahkan - pada hal-hal tertentu - juga dalam sejarah dunia.
Pada tahun 1950-an, terdapat keterkaitan yang kuat antara pelajaran ilmu bumi dan sejarah. Hal ini, antara lain, bisa dilihat dari buku teks ilmu bumi (terutama untuk kelas tiga dan empat) yang berisikan deskripsi sejarah. Gambaran sejarah ini, seperti kisah seorang pahlawan atau sebuah kejadian historis, umumnya diberikan ketika membahas sebuah kota atau wilayah tertentu.
Keterkaitan sejarah dengan ilmu bumi, dan deskripsi sejarah dengan uraian pada buku teks ilmu bumi, secara langsung atau tidak, telah memberi inspirasi pada Muhammad Yamin untuk menerbitkan buku Atlas Sedjarah (1956). Apa yang dilakukan Muhammad Yamin kemudian diikuti oleh beberapa penulis lainnya, terutama pada tahun 1970-an. Namun berbeda dengan karya Muhammad Yamin, atlas sejarah yang dibuat tahun 1970-an (akhir 1970-an dan awal 1980-an) lebih terfokus pada atlas sejarah daerah. Fenomena ini tentu berhubungan dengan latar belakang pembuatan atlas sejarah tersebut, yakni sebagai bagian dari proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah dan Kebudayaan Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Berbeda pula dengan karya Muhammad Yamin yang dikerjakan dengan cara relatif profesional, sebagian besar atlas sejarah yang terbit di akhir tahun 1970-an dan awal 1980 ini terkesan dikerjakan secara amatiran. Bahkan sebagian besar atlas sejarah yang dibuat dalam “proyek” ini tidak diterbitkan dalam bentuk buku, sehingga tidak banyak warga masyarakat yang mengambil manfaat dari keberadaannya. Padahal, bisa dipastikan, anggaran yang dihabiskan untuk itu tidak sedikit jumlahnya.
Peta Indonesia Sekarang
Era 1980-an juga ditandai dengan mulai munculnya atlas sejarah (terutama atlas sejarah Indonesia) yang dibuat dan diterbikan oleh penulis dan penerbit Indonesia.  Walaupun demikian, dilihat dari mutu peta dan isi (deskripsi) historis yang disajikan memang perlu ditingkatkan. Terdapat kecenderungan dari para penulis/penerbit atlas sejarah ini untuk mereduksi lukisan sejarah hanya pada sejarah politik semata. Peta dan deskripsi sejarah yang umumnya ditampilkan hanyalah peta wilayah/daerah kerajaan dan sejarah perang semata. Karena itu sangat pantas dihargai ikhtiar Robert Cribb yang membuat dan menerbitkan Historical Atlas of Indonesia (2000) dan diperbarui menjadi Digital Atlas of Indonesian History (2010). Sangat berbeda dengan karya-karya (atas sejarah) sebelumnya, buah karya Robert Cribb ini memang pantas diapresiasi. Peta yang disajikan bermutu tinggi dan “sejarah” yang ditampilkan mencakup sejarah dalam arti yang luas, hampir tidak ada aspek sejarah bangsa dan orang Indonesia di masa lampau yang tidak tercakup dalam karyanya ini. Apa yang telah dilakukan Robert Cribb ini selayaknya diikuti oleh penerbitan atlas sejarah-atlas sejarah lainnya oleh anak bangsa ini misalnya untuk tingkat daerah.
Peta atau atlas untuk daerah memang sangat dirasakan signifikansinya akhir-akhir ini. Otonomi daerah dan desentralisasi pemerintahan menuntut adanya peta atau atlas daerah yang baik serta bermutu tinggi. Dari sejumlah peta atau atlas daerah yang telah dibuat dan dipubkasikan (untuk umum) terlihat bahwa pengerjaan masih belum begitu sempurna dan mutunya masih dibawah standar. Kenyataan ini tentu kurang baik, apalagi apresiasi warga umumnya dan anak didik khususnya terhadap peta dewasa ini mulai tumbuh. Bahkan di beberapa daerah, peta atau atlas daerah menjadi kitab pegangan utama dalam pengajaran muatan lokal. Di Sumatra Barat misalnya, banyak guru menggunakan peta atau atlas tematik Provinsi Sumatera Barat dalam pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM). Dari beberapa guru yang mengajar mata pelajaran ini diketahui, bahwa pola pengajaran seperti itu (menggunaan peta tematik daerah) diterapkan karena ada pesan dari pejabat, kepala dinas pendidikan (kabupaten/kota dan provinsi) bahkan kepala daerah (bupati/walikota dan gubernur) yang meminta mereka menggunakan peta/atlas tematik daerah dalam pelajaran BAM. Fenomena yang sama juga ditemukan di Riau dan Jambi. Ada permintaan dari “pejabat berwenang” untuk mengunakan peta atau atlas tematik daerah guna mendukung pengajaran muatan lokal. Karena itu, perlu dan penting kiranya peta dan atlas yang disajikan adalah peta/atlas yang memenuhi kaidah pembuatan peta/atlas yang sesungguhnya. Sama dengan era 1950-an, penggunaan peta/atlas tematik daerah ini ditujukan untuk memperkenalkan warga daerah umumnya dan peserta didik pada khususnya pada daerah mereka. Dari pengenalan tersebut diharapkan diharapkan mereka tahu, setelah tahu diharapkan muncul rasa sayang, dan dari rasa sayang diharapkan timbul rasa cinta pada daerah (serta cinta ada nusa atau bangsa). Bukankah ada ungkapan lama yang tetap populer di tengah masyaakat kita: “tak kenal maka tak tau, tak tahu maka tak sayang, dan tak sayang maka tak cinta”.

Penutup

Gairah masyarakat terhadap peta akhir-akhir ini sejatinya diapresiasi dengan serius oleh berbagai pemangku kepentingan. Berbagai lembaga yang berhubungan dengan dunia peta (dan gegorafi), secara langsung atau tidak, dituntut untuk  ikut-serta menindaklanjuti munculnya gairah “berpeta-rianya” warga masyarakat ini. Tanpa bermaksud mengurangi porsi peran lembaga-lembaga yang lain, peran-serta Bakosurtanal dan Direktorat Geografi Sejarah menjadi sangat penting. Tangungjawab pembuatan peta yang “benar” dan “sesunguhnya” berada di tangan Bakosurtanal, dan tanggungjawab terhadap “isi” peta atau atlas dalam konteks sejarah dan budaya, untuk taraf tertentu, bagaimanapun berada di tangan Direktorat Geografi Sejarah. Bila upaya kedua lembaga ini tidak maksimal, dikhawatirkan kecambah gairah “berpeta-ria” masyarakat ini akan tumbuh secara tidak/kurang sempurna atau malah bisa salah jadinya.
Pengalaman di masa lampau, sebagai contoh pengalaman Sumatera Barat menjelang PRRI, menunjukkan bahwa peta (dan sejarah) pernah digunakan untuk keperluan yang bersifat disintegratif. Peta daerah administratif saat itu diplesetkan sehingga identik dengan peta wilayah/daerah budaya. Para pelajar dan warga masyarakat diyakinkan dengan peta tersebut tentang wilayah “baru” mereka. Pola pembuatan peta seperti ini membanggakan warga Sumatera Barat yang identik dengan orang Minangkabau dan menyakitkan atau bahkan melukai perasaan di kawasan Riau dan Jambi. Ini pulalah salah satu (dari sekian banyak) penyebab munculnya pergolakan daerah di Sumatera Tengah pada parohan kedua 1950-an.
Situasi sosial dan politik Indonesia saat sekarang, terutama bila dikaitkan dengan “kegilaan” berotonoi daerah dan  berdesentralisasi, untuk kadar tertentu identik dengan suasana tahun 1950-an, pada saat-saat sebelum terjadinya PRRI dan Permesta khususnya. Kegairahan sebagian daerah, pejabat daerah menggelorakan pengajaran budaya daerah (sebagai muatan lokal) yang menyertakan peta/atlas daerah, bila tidak dikawal dengan baik bisa menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Apalagi bila disertai dengan penulisan sejarah (daerah) yang bersifat daerah/regionalsentris pula. Bukanlah sejarah telah membuktikan, salah membuat dan membaca peta pernah menimbulkan bentrok antar warga dan pemerintahan, dan salah “menulis” sejarah dari pembacaan peta yang salah juga pernah menimbulkan bencana (perang)? Wallahu’alam bissawab.

Daftar Kepustakaan

Achmad Jamil dkk., Atlas Sejarah untuk SLTP/MTs, & Sederajat. N.p.: Mastara, 2007.
Chaid Latif, Atlas Sejarah: Indonesia dan Dunia. Jakarta: Pembina, 1992.
Cribb, Robert, Historical Atlas of Indonesia. Richmond, Surrey: Curzon, 2000.
-,,- , Digital Atlas of Indonesian History. Copenhagen: NIAS, 2010.
Gusti Asnan, “Geografi dan Penulisan Sejarah”, Makalah Disampaikan pada Kegiatan Sosialisasi Penulisan Sejarah Indonesia dirangkai dengan Peringatan 50 Tahun Seminar Sejarah Nasional Pertama (1957-2007) dengan Tema Historiografi Indonesia: Kilas Balik dan Tantangan Masa Depan” di Cipanas, Jawa Barat, 12-14 Desember 2007.
-,,- “Geography, Historiography and Regional Identity: West Sumatra in the 1950s” dalam Hanneman Samuel & Henk Schulte Nordholt (eds.), Indonesia in Transition: Rethinking ‘Civil Society’, ‘Region’ and ‘Crisis’ (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 129-146.
Harley, J. B., and Paul Laxton. The New Nature of Maps: Essays in the History of Cartography. Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2001.
“Kaartbeschrijving” dalam ENI  Deel II. ‘s-Gravenhage, Leiden: Martinus Nijhoof dan E.J. Brill, 1921. hal. 227-243.
Klooster, H.A.J., Indonesiers Shrijven Hun Geschiendenis: De Ontwikkeling van de Indonessche Geschiedbeofening in Theorie en Praktijk 1900-1980. Dordrecht, Cinnaminson: Foris Publication, 1985.
Leur, J.C., van, Indonesia Trade and Sociey: Essays in Asian Social and Economi Histoy. The Hague: W. Van Hoeve Publisher Ltd., 1967.
Muhammad Yamin, Atlas Sejarah: Jaiu Risalah Berisi 83 Peta, Melukiskan Perdjalanan Sedjarah Indonesia dan Sedjara Duia untuk Dirgunakan Dipelabagai Perguruan. Amsterdam, Djakarta: Djambatan 1956.
Parada Harahap, Menoedjoe Matahari Terbit (Perdjalanan ke Djepang) November 1933-Januari 1934. Batavia: N.V. Elect. Drukkerij & Uitg. Mij, 1934.
Ruggles, R., “The Teaching of the History of. Cartography”, International Cartographic Association Report, Budapest, 1989.
Suprihadi, Atlas Sejarah Dunia. Surabaya:: Karya Pembina Swajaya, 2001.
Suseno D. Kusumo Wijoyo. Atlas Tematik Provinsi Seri Pendidikan: Provinsi Sumatera Barat. Jakarta Anak Saleh Pratama, 2006.
“Topographische Dienst” dalam ENI Del IV. ‘s-Gravehage, Leiden: Martinus Nijhoof dan E.J. Brill, 1921. hal. 406-414.
Tugiyono K.S., Atlas dan Lukisan Sejarah Nasional Indonesia: Untuk Sekolah Menengah dan Umum. Jakarta: Baru, 1982.
Winichaul, Thongchai ‘Maps and the Formation of th Geo-Body of Siam’ dala Stein Tonnesson and hans Antlov (eds.), Asia Forms of the Nation. Richmond: Curzon Press, 1996, hal. 67-91.
______________________
*) Makalah disajikan pada kegiatan “Bimbingan Teknis Pemetaan Sejarah Tingkat Lanjut” Direktorat Geografi dan Sejarah, Direktorat Sejarah dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Parwisata, di Puncak, Bogor, 23-28 Mei 2011. 1) Sayangnya, peta “asli” yang dibuat oleh anak negeri pada masa awal ini tidak ditemukan lagi jejaknya, bahkan berita tentang peta pribumi ini tidak lagi ditemukan ada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 . Ini pulalah sebabnya Willem Lodewijcks, salah seorang anak kapal armada Belanda yang pertama kali datang ke Nusantara tahun 1595/96 menyebut bahwa orang Jawa (Indonesia) tidak mengenal peta laut.
2) Ketika lembaga ini kemudian dikembangkan keberadaan dan pimpinannya juga tidak pernah dipisahkan dari Departemen Perang.
Oleh: Prof. Dr. Gusti Asnan

Sumber: Direktorat Geografi Sejarah / geosejarah.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar