GEGER PECINAN

Geger Pecinan 1740 dan Sunan Kuning
Sekitar tahun 1740an, VOC melakukan politik pengurangan jumlah etnis Cina (Tionghoa) di Batavia karena jumlah etnis Cina melebihi jumlah serdadu VOC. Diperkirakan pada saat itu, jumlah Tionghoa diperkirakan telah mencapai sekitar 15.000 jiwa atau sekitar 17% total penduduk di Batavia.

Kebanyakan kaum Tionghoa pendatang itu tidak dapat memperoleh pekerjaan dan sebagian dari mereka menjadi sumber kerentanan sosial dengan semakin meningkatnya aksi-aksi kejahatan. Akhirnya VOC membuat larangan untuk mencegah etnis Cina untuk memasuki Batavia dan mendeportasi sebagian dari mereka ke luar Pulau Jawa.

Padahal menurut Kahin dalam “Nationalism and Revolution ini Indonesia” pada awalnya Gubernur Jenderal J.P. Coen, Gubernur Jenderal era 1618-1623 dan 1627-1629, menilai kaum Tionghoa dapat bekerjasama dengan baik dengan VOC sehingga J.P. Coen membuka Batavia bagi para imigran Cina. Tetapi rupanya dampak kebijakan J.P. Coen ini terasa bermasalah sekitar 100 tahun kemudian pada masa Gubernur Jenderal Valckenier, yang mulai memerintah pada tahun 1737.

Valcknier mengambil beberapa langkah untuk mengurangi jumlah etnis Cina di Batavia, diantaranya menangkapi orang-orang Cina yang tidak memiliki pekerjaan dan tidak memiliki “permisssie brief” dan kemudian mendeportasi mereka ke Srilangka (Ceylon) dan Tanjung Harapan (Afrika Selatan). Namun sebagian besar etnis Cina menolak untuk dideportasi, karena mereka mendengar isu bahwa mereka akan dibuang ke tengah laut jika dideportasi keluar Batavia.

Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1740, gerombolan-gerombolan orang Tionghoa yang berada di luar kota Batavia melakukan penyerangan dan pembunuhan beberapa orang Eropa. Agar orang-orang Tionghoa di dalam kota tidak bergabung dalam kerusuhan itu, VOC melakukan jam malam dan penggeledahan kepemilikan senjata di rumah-rumah orang Tionghoa. Ternyata penggeledahan atas rumah-rumah Tionghoa tidak terkendali lagi. Tembakan membabi buta dilakukan oleh VOC. Pada 9 Oktober 1740 dimulailah pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia.

Diperkirakan orang-orang Tionghoa yang terbunuh sebanyak 10.000 orang. Perkampungan Tionghoa dirampok dan dibakar selama delapan hari. Perampokan baru berhenti setelah VOC memberi premi kepada tentaranya untuk menghentikan penjarahan dan kembali kepada tugas rutinnya. Sementara, orang-orang Tionghoa yang berhasil lolos dari pembantaian di Batavia melarikan diri ke timur, menyusuri sepanjang daerah pesisir bergabung dengan komunitasnya di Jawa Tengah untuk melakukan perlawanan terhadap VOC lebih lanjut.

Dalam tulisannya De Klerck, ”History of Nederlands Indies”, menggambarkan pembantaian VOC-Belanda terhadap etnis Cina sebagai ”The Batavian Fury” (Amuk Masyarakat Batavia).

Suasana konflik VOC dengan etnis Cina pun dimanfaatkan oleh Kesultanan Mataram untuk menyerang hegemoni VOC di Jawa Tengah. Meskipun awalnya ragu-ragu, Pakubuwono II akhirnya tetap mengirim pasukan berjumlah 20.000 orang dari Kartasura menyerang markas VOC di Semarang dibawah pimpinan Patih Notokusumo. Etnis Cina yang menaruh dendam kepada VOC-Belanda tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Sekitar 3.500 etnis Cina bergabung dengan pasukan Kesultanan Mataram.

Menghadapi serangan Mataram dan etnis Cina tersebut, VOC meminta bantuan Cakraningrat IV dari Madura. Mereka berhasil memukul mundur kepungan Mataram yang dibantu oleh kaum Tionghoa di Markas VOC Semarang. Bahkan Cakraningrat IV berhasil mengalahkan para pejuang Tionghoa di wilayah timur.

Setelah kekalahan itu, Pakubuwono II baru menyadari bahwa pilihannya untuk melawan VOC adalah sebuah tindakan yang keliru. Untuk itu Pakubuwono segera memohon ampun kepada VOC. VOC mengabulkan dan mengirim utusan yang dipimpin Kapten Van Hohendorff ke Kartasura untuk melakukan perundingan. Sementara, Pakubuwono II mengirim juru runding yang dipimpin oleh Patih Notokusumo ke VOC Semarang, namun VOC menangkap Patih itu dan membuang ke luar negeri. Penangkapan dan pembuangan Patih Natakusuma ini atas seizin Pakubuwono II.

Perubahan sikap Pakubuwono II yang berbalik 180 derajat ini menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Para pejuang anti VOC baik dari kalangan Jawa maupun Tionghoa merasa telah dikhianati oleh Raja. Situasi ini memunculkan perlawanan pejuang yang lebih hebat baik kepada VOC maupun Pakubuwono II.

Isu perlawanan pun berubah dari anti VOC menjadi anti Pakubuwono, maka sasaran penyerangannya adalah Keraton Pakubuwono II di Kartasura. Pada tahun awal 1742, para pemberontak itu mengangkat salah seorang pangeran cucu laki-laki dari Amangkurat III yang baru berusia 12 tahun yang bernama Raden Mas Gerendi atau lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kuning. Sunan Kuning adalah sebutan sunan yang diangkat oleh komunitas Tionghoa.

(Sebagaimana yang diketahui Amangkurat III dibuang ke Srilangka oleh VOC akibat berselisih dengan Pangeran Puger atau Pakubuwono I)

Pemberontakan ini berhasil merebut Keraton Kartasura pada bulan Juli 1742, dan Pakubuwono II lari ke Ponorogo. Namun demikian, VOC dibawah pimpinan Kapten Wilhem atas perintah Wakil Gubernur Jenderal Gustaaf W. Van Imhoff dan dengan dibantu oleh Pangeran Cakraningrat IV menyerang Kartasura dan berhasil merebut Kartasura bulan Desember 1742.

Cakraningrat IV mendesak VOC agar Pakubuwana II dibuang saja karena dinilai tidak setia. Namun VOC menolak permintaan itu karena Pakubuwana II masih bisa dimanfaatkan. Cakraningrat IV terpaksa mengikuti kemauan VOC karena khawatir VOC batal membantu kemerdekaan Madura. Raden Mas Gerendi sendiri tertangkap beberapa bulan kemudian, yaitu pada bulan Oktober 1743.

Karena istana Kartasura sudah hancur, Pakubuwana II memutuskan untuk membangun istana baru di desa Sala, yang bernama Surakarta. Istana baru ini ditempatinya mulai tahun 1745.

Pustaka :

(1) Api Sejarah. Ahmad Mansur Suryanegara. Salamadani. 2009.
(2) Evolusi Ekonomi Kota Solo (Laporan Penelitian). PEPFE-UNS.
(3) Nusantara. Bernard H.M. Vlekke. Kepustakaan Populer Gramedia. 2008.
(4) Pembantaian Massal 1740. Hembing Wijayakusuma. Yayasan Obor Indonesia. 2005.
(5) Peperangan Kerajaan di Nusantara. Suyono. Grasindo. 2003.
(6) http://id.wikipedia.org/wiki/Pakubuwana_II

Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar