Kata Tarumanagara berasal dari kata taruma dan nagara.
Nagara artinya kerajaan atau negara sedangkan taruma berasal dari kata tarum yang
merupakan nama sungai yang membelah Jawa Barat yaitu Citarum. Pada muara
Citarum ditemukan percandian yang luas yaitu Percandian Batujaya dan Percandian
Cibuaya yang diduga merupakan peradaban peninggalan Kerajaan Taruma
Sumber Sejarah
Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti
yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang
pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan
sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia
memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang
6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan
selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana.
Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan
tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Lima di Bogor, satu di Jakarta dan
satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan
dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau
memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di
sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan
dari Kerajaan Salakanagara.
Prasasti yang ditemukan
- Prasasti Kebon Kopi, dibuat sekitar 400 M (H Kern 1917), ditemukan di perkebunan kopi milik Jonathan Rig, Ciampea, Bogor
- Prasasti Tugu, ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa Tugu, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, sekarang disimpan di museum di Jakarta. Prasasti tersebut isinya menerangkan penggalian Sungai Candrabaga oleh Rajadirajaguru dan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6112 tombak atau 12km oleh Purnawarman pada tahun ke-22 masa pemerintahannya.Penggalian sungai tersebut merupakan gagasan untuk menghindari bencana alam berupa banjir yang sering terjadi pada masa pemerintahan Purnawarman, dan kekeringan yang terjadi pada musim kemarau.
- Prasasti Cidanghiyang atau Prasasti Munjul, ditemukan di aliran Sungai Cidanghiyang yang mengalir di Desa Lebak, Kecamatan Munjul, Kabupaten Pandeglang, Banten, berisi pujian kepada Raja Purnawarman.
- Prasasti Ciaruteun, Ciampea, Bogor
- Prasasti Muara Cianten, Ciampea, Bogor
- Prasasti Jambu, Nanggung, Bogor
- Prasasti Pasir Awi, Citeureup, Bogor
Lahan tempat prasasti itu ditemukan berbentuk bukit rendah berpermukaan datar dan diapit tiga batang sungai: Cisadane, Cianten dan Ciaruteun. Sampai abad ke-19, tempat itu masih dilaporkan dengan nama Pasir Muara. Dahulu termasuk bagian tanah swasta Ciampea. Sekarang termasuk wilayah Kecamatan Cibungbulang.
Kampung Muara tempat prasasti Ciaruteun dan Telapak
Gajah ditemukan, dahulu merupakan sebuah "kota pelabuhan sungai" yang
bandarnya terletak di tepi pertemuan Cisadane dengan Cianten. Sampai abad ke-19
jalur sungai itu masih digunakan untuk angkutan hasil perkebunan kopi. Sekarang
masih digunakan oleh pedagang bambu untuk mengangkut barang dagangannya ke
daerah hilir.
Prasasti pada zaman ini menggunakan aksara Sunda kuno,
yang pada awalnya merupakan perkembangan dari aksara tipe Pallawa Lanjut, yang
mengacu pada model aksara Kamboja dengan beberapa cirinya yang masih melekat.
Pada zaman ini, aksara tersebut belum mencapai taraf modifikasi bentuk khasnya
sebagaimana yang digunakan naskah-naskah (lontar) abad ke-16.
Prasasti Pasir Muara
Di Bogor, prasasti ditemukan di Pasir Muara, di tepi
sawah, tidak jauh dari prasasti Telapak Gajah peninggalan Purnawarman. Prasasti
itu kini tak berada ditempat asalnya. Dalam prasasti itu dituliskan :
ini sabdakalanda rakryan juru
panga-mbat i kawihaji panyca pasagi marsa-n desa barpulihkan haji su-nda
Terjemahannya menurut Bosch:
Ini tanda ucapan Rakryan Juru
Pengambat dalam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan
begara dikembalikan kepada raja Sunda.
Karena angka tahunnya bercorak "sangkala"
yang mengikuti ketentuan "angkanam vamato gatih" (angka dibaca dari
kanan), maka prasasti tersebut dibuat dalam tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan pada aliran Ci Aruteun,
seratus meter dari pertemuan sungai tersebut dengan Ci Sadane; namun pada tahun
1981 diangkat dan diletakkan di dalam cungkup. Prasasti ini peninggalan
Purnawarman, beraksara Palawa, berbahasa Sanskerta. Isinya adalah puisi empat
baris, yang berbunyi:
vikkrantasyavanipateh shrimatah
purnavarmmanah tarumanagararendrasya vishnoriva padadvayam
Terjemahannya menurut Vogel:
Kedua (jejak) telapak kaki yang
seperti (telapak kaki) Wisnu ini kepunyaan raja dunia yang gagah berani yang
termashur Purnawarman penguasa Tarumanagara.
Selain itu, ada pula gambar sepasang
"padatala" (telapak kaki), yang menunjukkan tanda kekuasaan
&mdash& fungsinya seperti "tanda tangan" pada zaman sekarang.
Kehadiran prasasti Purnawarman di kampung itu menunjukkan bahwa daerah itu
termasuk kawasan kekuasaannya. Menurut Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara
parwa II, sarga 3, halaman 161, di antara bawahan Tarumanagara pada masa
pemerintahan Purnawarman terdapat nama "Rajamandala" (raja daerah)
Pasir Muhara.
Dua arca
Wishnu dari Cibuaya, Karawang, Jawa Barat. Tarumanagara sekitar abad ke-7
Masehi. Mahkotanya yang berbentuk tabung menyerupai gaya seni Khmer Kamboja.
Prasasti Telapak Gajah bergambar sepasang telapak kaki
gajah yang diberi keterangan satu baris berbentuk puisi berbunyi:
jayavi s halasya tarumendrsaya
hastinah airavatabhasya vibhatidam padadavayam
Terjemahannya:
Kedua jejak telapak kaki adalah
jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa
Tarumanagara yang jaya dan berkuasa.
Menurut mitologi Hindu, Airawata adalah nama gajah
tunggangan Batara Indra dewa perang dan penguawa Guntur. Menurut Pustaka
Parawatwan i Bhumi Jawadwipa parwa I, sarga 1, gajah perang Purnawarman diberi
nama Airawata seperti nama gajah tunggangan Indra. Bahkan diberitakan juga,
bendera Kerajaan Tarumanagara berlukiskan rangkaian bunga teratai di atas
kepala gajah. Demikian pula mahkota yang dikenakan Purnawarman berukiran
sepasang lebah.
Ukiran bendera dan sepasang lebah itu dengan jelas
ditatahkan pada prasasti Ciaruteun yang telah memancing perdebatan mengasyikkan
di antara para ahli sejarah mengenai makna dan nilai perlambangannya. Ukiran
kepala gajah bermahkota teratai ini oleh para ahli diduga sebagai "huruf
ikal" yang masih belum terpecahkan bacaaanya sampai sekarang. Demikian
pula tentang ukiran sepasang tanda di depan telapak kaki ada yang menduganya
sebagai lambang labah-labah, matahari kembar atau kombinasi surya-candra
(matahari dan bulan). Keterangan pustaka dari Cirebon tentang bendera Taruma
dan ukiran sepasang "bhramara" (lebah) sebagai cap pada mahkota
Purnawarman dalam segala "kemudaan" nilainya sebagai sumber sejarah
harus diakui kecocokannya dengan lukisan yang terdapat pada prasasti Ciaruteun.
Prasasti Jambu
Di daerah Bogor, masih ada satu lagi prasasti lainnya
yaitu prasasti batu peninggalan Tarumanagara yang terletak di puncak Bukit
Koleangkak, Desa Pasir Gintung, Kecamatan Leuwiliang. Pada bukit ini mengalir
(sungai) Cikasungka. Prasasti inipun berukiran sepasang telapak kaki dan diberi
keterangan berbentuk puisi dua baris:
shriman data kertajnyo narapatir -
asamo yah pura tarumayam nama shri purnnavarmma pracurarupucara
fedyavikyatavammo tasyedam - padavimbadavyam arnagarotsadane nitya-dksham
bhaktanam yangdripanam - bhavati sukhahakaram shalyabhutam ripunam.
Terjemahannya menurut Vogel:
Yang termashur serta setia kepada
tugasnya ialah raja yang tiada taranya bernama Sri Purnawarman yang memerintah
Taruma serta baju perisainya tidak dapat ditembus oleh panah musuh-musuhnya;
kepunyaannyalah kedua jejak telapak kaki ini, yang selalu berhasil
menghancurkan benteng musuh, yang selalu menghadiahkan jamuan kehormatan
(kepada mereka yang setia kepadanya), tetapi merupakan duri bagi
musuh-musuhnya.
Sumber berita dari luar negeri
Sumber-sumber dari luar negeri semuanya berasal dari
berita Tiongkok.
- Berita Fa Hien, tahun 414M dalam bukunya yang berjudul Fa Kao Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti ("Jawadwipa") hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan "beragama kotor" (maksudnya animisme). Ye Po Ti selama ini sering dianggap sebutan Fa Hien untuk Jawadwipa, tetapi ada pendapat lain yang mengajukan bahwa Ye-Po-Ti adalah Way Seputih di Lampung, di daerah aliran way seputih (sungai seputih) ini ditemukan bukti-bukti peninggalan kerajaan kuno berupa punden berundak dan lain-lain yang sekarang terletak di taman purbakala Pugung Raharjo, meskipun saat ini Pugung Raharjo terletak puluhan kilometer dari pantai tetapi tidak jauh dari situs tersebut ditemukan batu-batu karang yg menunjukan daerah tersebut dulu adalah daerah pantai persis penuturan Fa hien
- Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To-lo-mo ("Taruma") yang terletak di sebelah selatan.
- Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusan dari To-lo-mo.
Dari tiga berita di atas para ahli menyimpulkan bahwa
istilah To-lo-mo secara fonetis penyesuaian kata-katanya sama dengan
Tarumanegara.
Maka berdasarkan sumber-sumber yang telah dijelaskan
sebelumnya maka dapat diketahui beberapa aspek kehidupan tentang Taruma.
Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang antara
tahun 400-600 M. Berdasarkan prasast-prasati tersebut diketahui raja yang
memerintah pada waktu itu adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman
menurut prasasti Tugu, meliputi hapir seluruh Jawa Barat yang membentang dari
Banten, Jakarta, Bogor dan Cirebon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar