Rahasia di Balik Feminisme Siger Lampung
Siger sendiri adalah sebuah bentuk yang melambangkan mahkota keagungan adat budaya dan tingkat kehidupan terhormat. Biasanya, Siger selalu dipergunakan oleh pengantin perempuan Lampung. Artinya, lambang Lampung ini merupakan simbolisasi sifat feminin. Pada umumnya, lambang daerah di seputar Nusantara bersifat maskulin. Seperti halnya di Jawa Barat, lambang yang dipergunakan adalah Kujang, yaitu senjata tradisional masyarakat Sunda. Atau di Kalimanatan, Mandau merupakan simbol yang tidak berbeda dengan Jawa Barat, yang melambangkan sifat-sifat patriotik dan defensif terhadap ketahanan wilayahnya.
Dahulu kala bila warga akan mengadakan acara adat Lampung seperti pernikahan atau Cakak Pepadun (sebuah upacara Lampung). Masyarakat meminjam atau menggunakan Siger Emas dari alam gaib melalui sebuah tempat di salah satu kebun warga. Kebun warga yang keberadaannya gaib itu, merupakan perkampungan masyarakat Lampung pada jaman yang lebih dahulu dari waktu itu. Namun karena suatu hal perkampungan ini hilang beserta penghuni kampung itu. Tapi masyarakat masih bisa berhubungan dengan warga Kampung yang hilang itu dengan cara meminjam Siger yang dipergunakan untuk digunakan dalam Kegiatan Adat tersebut. Namun karena ketamakan warga yang telah berlaku curang setelah menggunakan Siger tersebut tidak di kembalikan lagi ke kampung gaib itu lagi, Sehingga keberadaan Siger gaib itu hilang entah kemana. Namun di kampung gaib itu masyarakat masih sering mendengar adanya suara-suara penghuni alam gaib itu. Seperti suara musik kolintang khas Lampung pada hari-hari tertentu.
Dari cerita itu jelas terlihat, bahwa Siger sangat berarti bagi masyarakat Lampung. Analisa sederhana saya, Siger adalah mahkota lambang kejayaan dan kekayaan, karena warna emasnya, yang pada Siger asli terbuat dari emas murni. wajar saja jika nilai Siger sangat berarti karena nilainya itu. Namun pikiran saya tetap tidak lepas dari semantik feminin dari bentuk Siger itu sebagai lambang sebuah daerah.
Sebagai lambang daerah, sentuhan feminin seharusnya menjadi sebuah konsep yang lebih ramah terhadap para pendatang atau tamu. Tepat dengan prinsip masyarakat Lampung yaitu Nemui Nyimah, atau ramah terhadap tamu. Jika kita terapkan dalam konteks terkini, sudah seharusnya Lampung menjadi provinsi yang ramah terhadap para pendatang, khususnya bagi para investor yang diharapkan dapat memberi kontribusi dalam pembangunan Lampung agar menjadi daerah yang maju dan mandiri, serta mempunyai pendatapatan asli daerah yang tinggi.
Diskusi yang berjalan cukup lama ini terasa begitu menarik, dengan kesimpulan akhir, bahwa dengan feminisme yang dimiliki Lampung sudah seharusnya menjadi “Ibu” bagi masyarakatnya, ramah terhadap tamu yang mendatanginya, serta mengayomi dan memakmurkan masyarakatnya dengan kesuburan serta berbagai potensi yang berada dalam kandungannya, seperti layaknya seorang ibu yang cinta terhadap anak-anaknya.
SUMBER : RAHADIAN SUADI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar